Loading...

Cerita Tentang Ekspedisi Gunung Lawu | dari Saudara di Magelang, Jawa











Serasa di Komik Silat
Oleh Eman Mulyatman

Sahabat Alam diundang FPI Surakarta untuk mendaki Gunung Lawu. Alhamdulillah ya, sesuatu banget!

Setiap perjalanan punya cerita. Dari perjalanan itu, kalau jeli maka akan banyak hikmah yang bisa kita dapatkan. Seperti pendakian ke Lawu. Boleh dibilang tidak ada rencana. Waktu itu SAHABAT ALAM sedang melakukan wawancara dengan Ustadz Chairul RS, Ketua DPW FPI Surakarta. Di tengah wawancara, Ustadz mengabarkan bahwa Sabtu (1/10) Laskar FPI Surakarta berencana untuk mendaki gunung Lawu. “Kita biasa kok naik gunung, untuk menjaga stamina,” katanya sedikit menantang.

Wow! SAHABAT ALAM tentu tidak menyia-nyiakan undangan ini. Apalagi sudah lama mengidam-idamkan untuk naik ke gunung yang konon sebagai pusat mistik di Tanah Jawa ini. Hmm….bener-bener tantangan nih. Untuk Sob eL-Ka ketahui aja, Gunung Lawu (3.265 m) yang punya nama asli Wukir Mahendra terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang terkena erosi. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous. Gunung Lawu memiliki tiga puncak: Puncak Argo Dalem, Argo Dumiling dan Argo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan. Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun, mausoleum untuk keluarga Presiden kedua Indonesia, Suharto.

Jalur Pendakian
Gunung Lawu sangat populer untuk kegiatan pendakian. Setiap malam 1 Sura banyak orang berziarah dengan mendaki hingga ke puncak. Karena populernya, di puncak gunung bahkan dapat dijumpai pedagang makanan.

Kami naik dari Tawangmangu. Ustadz Choirul menunjuk Warno sebagai Pimpinan Pendakian. Penunjukkan ini berdasarkan pengalamannya yang sudah lebih dari lima kali mendaki Lawu. Langkah Pendakian dimulai dengan berdoa, setelah melewati Pos Pendaftaran. Bismillah, 12 orang mulai melangkah.

Pendakian standar dapat dimulai dari dua tempat (basecamp): Cemorokandang di Tawangmangu, Jawa Tengah, serta Cemorosewu, di Sarangan, Jawa Timur. Gerbang masuk keduanya terpisah hanya 200 m.

Pendakian dari Cemorosewu melalui dua sumber mata air: Sendang (kolam) Panguripan terletak antara Cemorosewu dan Pos 1 dan Sendang Drajat di antara Pos 4 dan Pos 5. Pendakian melalui Cemorokandang akan melewati 5 selter dengan jalur yang relatif telah tertata dengan baik.

Pendakian melalui cemorosewu akan melewati 5 pos. Jalur melalui Cemorosewu lebih nge-track. Akan tetapi jika kita lewat jalur ini kita akan sampai puncak lebih cepat daripada lewat jalur Cemorokandang. Pendakian melalui Cemorosewu jalannya cukup tertata dengan baik. Jalannya terbuat dari batu-batuan yang sudah ditata.

Jalur dari pos 3 menuju pos 4 berupa tangga yang terbuat dari batu alam. Pos ke4 baru direnovasi,jadi untuk saat ini di pos4 tidak ada bangunan untuk berteduh. Biasanya kita tidak sadar telah sampai di pos 4.

Di dekat pos 4 ini kita bisa melihat telaga Sarangan dari kejauhan. Jalur dari pos 4 ke pos 5 sangat nyaman, tidak nge-track seperti jalur yang menuju pos 4. Di pos 2 terdapat Watu Gedhe, ada juga yang menyebut Watu Iris (karena seperti di iris).

Di dekat pintu masuk Cemorosewu terdapat suatu bangunan seperti masjid yang ternyata adalah makam. Untuk mendaki melalui Cemorosewu (bagi pemula) janganlah mendaki di siang hari karena medannya berat untuk pemula.

Baru saja melewati Pos 2 ada kejadian unik sekaligus bikin hati berdebar-debar. Ada salah seorang rekan yang membawa cairan methanol di botol air mineral. Ketika air itu berpindah tangan, tanpa sengaja terminum oleh rekan yang lain yang mendapatkan giliran membawanya.

Rekan itu pun berusaha memuntahkannya. Yang lain berusaha menetralkannya dengan memberi Susu kental manis. “Insya Allah gak apa-apa,” kata Ustadz Choirul mengembalikan semangat.

“Iya ga apa-apa wong preman-preman itu juga suka minum methanol, digunakan sebagai campuran Ciu, minuman oplosan,” sahut rekan lainnya.

Alhamdulillah yang dikhawatirkan tak terjadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Dalam pendakian dari Cemorosewu menuju puncak, kita akan menjumpai 4 buah pondok pada ketinggian berturut-turut, yaitu 2.100 m, 2.300 m, 2.500 m dan 2.800 m dan Pesanggrahan Argo Dalem pada ketinggian 3.100 m dari permukaan air laut.

Memasuki Pos 3 Ustadz Choirul menginstruksikan, “Yang mau melanjutkan silakan yang mau istirahat silakan.” Aku yang tengah buang air kecil mendengar instruksi itu langsung saja jalan mengikuti langkah tiga pendaki di depan. Rupanya inilah awal dari cerita.

Begitu menyadari ketiga rekan di depan berjalan agak pelan, saya bermaksud menyusulnya.

“Sendiri Mas?” katanya?

“Lho? Bukannya ente dari FPI?”

“O bukan Mas, kami dari MTA Solo,” katanya.

Ternyata mereka adalah tim lain. Waduh! Ternyata aku sudah terpisah jauh dengan teman-teman FPI. Mau balik, boros tenaga lagipula medannya cukup berat. Khawatir terjadi apa-apa. Akhirnya, aku putuskan bergabung dengan mereka. Melanjutkan perjalanan, tanpa air, hanya berbekal seplastik permen coklat. Lainnya, aku cuma bawa kamera. La haula wala quwatta illa billah.

Aku segera menata diri, memperkuat tekad. “Wah kalo, gitu, saya ikut gabung ya, mudah-mudahan teman-teman bisa menyusul.”

Selanjutnya perjalanan bagai merayap pelan. Menjelang Sendang Drajat kami shalat subuh. Angin menampar-nampar tubuh kami. Kencang dan rasanya seperti mau menerbangkan kami. Alhamdulillah kami tiba di Sendang Drajat bermandikan cahaya mentari pagi. Sunrise muncul sebentar, kami bergantian mengabadikannya. Subhanallah.

Di sendang Drajat, aku berpisah dengan teman-teman dari MTA alias Majelis Tafsir Al-Qur’an. Kuputuskan untuk menunggu teman-teman FPI. Di sendang Drajat ini, terdapat sebuah bangunan dari seng yang dapat digunakan untuk bermalam dan berlindung dari hujan dan angin. Terdapat warung makanan dan minuman yang sangat membantu bagi pendaki dan peziarah yang kelelahan, lapar, dan kedinginan. Inilah keunikan Gunung Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl, terdapat warung di dekat puncaknya.

Ketika memeriksa kantong celana, ada duit Rp 8000. Kepada penjaga warung di sendang Drajat aku memesan mi instan dan teh manis. Yang segera saja berpindah ke perut. Lumayan hangat.

Aku sempat tidur-tidur ayam di Gua Selarong salah satu gua yang diberi nama sama dengan Gua pertahanan Pangeran Diponegoro. Dua orang pendaki dari Surabaya, lumayan menemani ngobrol sambil menunggu teman-teman FPI. Dari dia aku mendengar cerita tentang Sendang Drajat yang airnya tak pernah habis. Padahal Oktober ini kemarau sedang hebat-hebatnya. Aku menyaksikan dua orang peziarah yang mengambil air dari Sendang itu. Sendang Drajad, sumber air ini berupa sumur dengan garis tengah dua meter dan memiliki kedalaman dua meter.

Di lokasi ini ada dua gua, yang merupakan tempat tafakurnya Sunan Drajat, salah seorang Putra Sunan Ampel. Aku berdecak kagum, hebat ya Sunan Drajat  pada masa-masa itu sudah sampai ke puncak Lawu dan mampu membuat sumur. Padahal sepanjang perjalanan yang aku tapaki adalah batu. Tapi, setengah jam yang aku tunggu belum muncul juga. Aku segera mengayunkan langkah kembali, melanjutkan perjalanan menuju Puncak. Lone Ranger!....                 

Di atas puncak Argo Dumilah terdapat satu tugu. Di sini aku menikmati udara puncak gunung Lawu. Seluas mata memandang, lega rasanya hati ini. Hilang segala letih.

Puncak Argo Dumilah pada saat tertutup awan sangat indah, kita menyaksikan beberapa puncak lainnya seperti pulau-pulau kecil yang dibatasi oleh lautan awan, kita merasa berada di atas awan-awan seperti di kahyangan. Bila udara bersih tanpa awan kita bisa melihat Samudera Indonesia. Kita dapat melihat pantulan matahari di Samudera Indonesia, deburan dan riak ombak Laut Selatan sepertinya sangat dekat. Sangat jelas terlihat kota Wonogiri juga kota-kota di Jawa Timur. Tampak waduk Gajah mungkur juga telaga Sarangan.

Terdapat padang rumput pegunungan banjaran Festuca Nubigena yang mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir menuju puncak pada ketinggian 3.200 m dpl yang biasanya kering di musim kemarau. Tapi, aku tak berlama-lama di Argo Dumilah, karena memikirkan teman-teman FPI.

Aku segera turun. Ya terpaksa sendiri. Karena cuaca terang dan tak terlalu mengkhawatirkan. Tapi, padang rumput yang luas ini cukup bikin bingung. Aku sempat salah arah. Sesuai dengan teori, kalau tersesat lebih baik diam dan balik saja kearah semula. Ketika sampai di titik jalan tikungan awal aku tersesat, justru ada Warno.

“Woi…” kami teriak berbalasan. Ketika berpelukan, aku mendengar sayup-sayup namaku dipanggil. Gemanya terasa mengharukan.

“Itu teman-teman yang mencari, ente dinyatakan hilang,” katanya setengah tertawa.

Wah, rupanya begitu aku terpisah dari rombongan Ustadz Choirul memecah tim, 2 orang melapor ke Pos 1 di Bawah, satu tim Ke Jagawana, satu tim tunggu di Pos 3 dan lainnya menyusul ke atas. Aku segera menjelaskan, mengapa sampai terpisah. Rupanya di Pos 3 aku mengikuti rombongan lain. Memang rekan-rekan FPI ini yang aku kenal cuma satu Ustadz Choirul. Tapi, aku segera meminta maaf, atas keteledoran ini. Mereka maklum.

Serasa di Komik Silat
Selanjutnya Warno mengajak aku ke puncak lainnya, Argo Dalem dan Argo Dumiling. Argo Dalem merupakan suatu tempat sepertinya Kelenteng. Di sekitar puncak Argo Dumilah yang disebut Hargo Dalem yang banyak disinggahi para peziarah. Di sekitar Hargo Dalem ini banyak terdapat bangunan. Dia lalu bercerita tentang Sumur Jalatunda, sebuah gua yang disebut Sumur Jalatunda menjelang puncak, gua ini gelap dan sangat curam turun ke bawah kurang lebih sedalam 5 meter. Menurut pengakuan Warno, dia pernah ke sumur itu, waktu tim-nya kehabisan air. Ada batu Gedhe, Sarangan sampai Cemorosewu. Ada juga Pawon Sewu terletak di dekat pos 5 Jalur Cemoro Sewu. Tempat ini berbentuk tatanan/susunan batu yang menyerupai candi. Dulunya digunakan bertapa para abdi Raja Parabu Brawijaya V.

Cerita Warno mengingatkan aku pada komik silat Indonesia era 70-80-an yang menjadi kegemaranku. Api di bukit Menoreh, Nagasasra dan Sabuk Inten-SH Mintardja, Pendekar Gunung Lawu, Kho Ping Hoo, hingga Senopati Pamungkas-nya Arswendo Atmowiloto, membuat hati ini tak puas dengan pendakian kali ini, serasa ingin kembali lagi. Mendaki lagi, ke gunung lagi.

“Kapan-kapan kita ke Ciremai yuk!” Kata ustadz Choirul menyalami aku yang berpamitan.

KUIS
Pertanyaan untuk Kuis: Apa nama lain dari Gunung Lawu?
A. Yusril Mahendra                    B. Wukir Mahendra

Jangan lupa sertakan kuponnya di Majalah y

PUSTAKA :
*sahabatalam3.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
TOP